Rabu, 14 November 2012

KESPRO KEPERAWATAN


    LATAR BELAKANG



Seksualitas dan kesehatan reproduksi remaja didefinisikan sebagai keadaan sejahtera fisik dan psikis seorang remaja, termasuk keadaan terbebas dari kehamilan yang tidak dikehendaki, aborsi yang tidak aman, penyakit menular seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS, serta semua bentuk kekerasan dan pemaksaan seksual.



Masa remaja adalah masa transisi antara kanak-kanak dengan dewasa dan realtif belum mencapai tahap kematangan mental dan sosial sehingga mereka harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan. Banyak sekali life events yang akan terjadi tidak saja akan menentukan kehidupan masa dewasa tetapi juga kualitas hidup generasi berikutnya sehingga menempatkan masa ini sebagai masa kritis.



Di negara-negara berkembang masa transisi ini berlangsung sangat cepat. Bahkan usia saat berhubungan seks pertama ternyata selalu lebih muda daripada usia ideal menikah. Pengaruh informasi global (paparan media audio-visual) yang semakin mudah diakses justru memancing anak dan remaja untuk mengadaptasi kebiasaan-kebiasaan tidak sehat seperti merokok, minum-minuman berakohol, penyalangunaan obat dan suntikan terlarang, perkelahian antar remaja atau tawuran. Pada akhirnya, secara kumulatif kebiasaan-kebiasaan tersebut akan mempercepat usia awal seksual aktif serta mengantarkan mereka pada kebiasaan berprilaku seksual yang beresiko tinggi, karena kebanyakan remaja tidak memiliki akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi, termasuk kontrasepsi.Untuk itu pendekatan kesehatan reproduksi remaja perlu mendapat perhatian yang sangat serius karena pada dasarnya secara biologis siap untuk berproduksi.





B.     PERMASALAHAN



Perkembangan reproduksi remaja erkait erat dengan perkembangan seksualnya. Sebagian remaja tidak mengalami masalah dalam perkembangan seksualnya, tapi tidak sedikit dari mereka karena proses tersebut kehidupan mereka di hari tua menjadi kurang menguntungkan.Saat ini sebagian besar kaum remaja lebih berani mengambil risiko yang mengancam kesehatan reproduksinya, tetapi mereka tidak mengetahui banyak informasi mengenai apa itu kesehatan reproduksi.



Minimnya informasi kesehatan reproduksi remaja kerap menjadi salah satu persoalan yang membuat mereka salah dalam mengambil keputusan. Informasi kesehatan reproduksi (kespro) pada remaja harus ditingkatkan, agar kelompok kaum muda yang sedang tumbuh berkembang ini dapat memperoleh sumber informasi yang benar. Karenanya, semua remaja memerlukan dukungan dan perawatan selama masa transisi dari remaja menuju dewasa.





C.  RUMUSAN MASALAH



Minimnya informasi tentang kesehatan reproduksi remaja kerap terjadi penyalahgunaan fungsi seksual. Hanya mengejar kenikmatan sesaat, tidak sedikit dari mereka berani melakukan hubungan seksual. Tidak heran jika kini banyak permasalahan yang datang menyertainya, termasuk semakin beragamnya penyakit menular seksual (PMS), kehamilan yang tidak dikehendaki (hamil diluar nikah) dan aborsi.Untuk itulah disini penulis mencoba memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi remaja.















BAB II



PEMBAHASAN





A.     Pengertian Kesehatan Reproduksi Menurut BKKBN, 2000 :

Reproduksi adalah kemampuan untuk membuat kembali dan dalam kaitannya dengan kesehatan. Reproduksi diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk memperoleh keturunan atau proses melanjutkan keturunan.

Kesehatan Reproduksi adalah kesehatan yang sempurna baik secara fisik, mental dan sosial dan bukan semata-mata terbebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsi serta proses reproduksi, (BKKBN, 2000).



B.      Definisi Remaja

Remaja adalah masa peralihan dari anak menjadi manusia dewasa secara fisik, mental maupun sosial. Kurun usia remaja sering disebut sebagai peralihan periode strum und drang, yaitu periode peralihan antara anak-anak dengan masa dewasa yang penuh gejolak. Gejolak ditimbulkan baik oleh fungsi sosial remaja dalam mempersiapkan diri menuju kedewasaan (mencari indetitas diri, meman tapkan posisi dalam masyarakat tersebut dsb.) maupun oleh pertumbuhan fisik (perkembangan tanda-tanda seksual sekunder, pertumbuhan tubuh yang tidak proporsional dsb.) dan perubahan emosi (lebih peka, lebih cepat marah, agresif dsb.) serta perkembangan inteligensinya (makin tajam bernalar, makin kritis dsb.) Kurun usia remaja ini berbeda-beda panjangnya dari waktu dan dari tempat-ke tempat. Di lingkungan masyarakat yang masih sederhana (baca: primitif) kurun usia remaja ini bisa sangat singkat. (beberapa hari sehingga 1-2 tahun, karena begitu anak menunjukkan tanda-tanda akil balig, dilakukan upacara inisiasi tertentu dan setelah itu, anak itu langsung berstatus sosial dewasa (menikah bekerja, berburu, menjadi prajurit, diundang kenduri dsb.; wanitanya langsung hamil, mempunyai anak dan mengerjakan perkerjaan-pekerjaan rumah tangga).

Hal ini dimungkinkan karena di lingkungan masyarakat yang sederhana, persyaratan untuk menjadi dewasa pun tidak terlalu berat (cukup asal sudah bisa membantu ayah di sawah atau membantu ibu di dapur). Tatapi di kalangan masyarakat yang sudah lebih canggih (masyarakat modern, kalangan menengah ke atas) kurun usia remaja bisa lebih panjang, bisa mencapai belasan tahun (di Indonesia antara 11-24 tahun). Penyebabnya adalah makin awalnya tanda-tanda akil balig (karena gizi yang baik, rangsangan dari lingkungan dsb.) Sementara persyaratan untuk menjadi dewasa justru semakin berat (harus sekolah dulu, punya pekerjaan dulu dsb.), sehingga memerlukan waktu yang makin lama (usia rata-rata perkawinan meningkat dari usia 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria dalam UU Perkawinan 1974 sampai mendekati umur 26 tahun bagi wanita dan 30 tahun bagi lakilaki.

Dengan sendirinya, masa yang panjang antara tanda-tanda akil balig yang pertama sampai kematangan sosisal yang diharapkan (sehingga bisa menikah), akan menimbulkan peluang lebih besar bagi hubungan seks pranikah dengan segala akibatnya: kehamilan tanpa rencana, kawin muda, dikeluarkan dari sekolah, aborsi, anak luar nikah dan penyakti menular seksual, temasuk AIDS. Peluang ini lebih diperbesar lagi dengan meluasnya peredaran pornografi dan rangsangan seksual lainnya sehubungan dengan makin canggihnya teknologi media dan komunikasi massa (TV, Video tape, fax, film dsb.) serta tersedianya berbagai prasara dan sarana hiburan. Sebuah laporan dari Australia, misalnya menyebutkan tentang pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak laki-laki berumur 5 tahun terhadap teman perempuannya. Para guru menyalahkan banyaknya tayangan film TV Amerika yang bertema kekerasan dan seks (Tepleton, 1998).

Remaja adalah tahap yang paling rentan dalam hal kesehatan reproduksi sepanjang perkembangan hidup manusia, maka perhatian yang lebih besar perlu diberikan justru pada tahap perkembangan ini. Selama ini remaja dianggap kelompok yang tabu untuk disentuh oleh informasi seks maupun pelayanan kesehatan reproduksi. Seakan-akan kalau tabu itu dilanggar akan terjadi pemakaian seluruh remaja dan pada gilirannya seluruh masyarakat. Padahal perilaku seksual yang tidak sesuai norma-norma agama dan sosial bukan berawal dari kelompok remaja, melainkan dari golongan dewasa3. Dengan demikian remaja adalah kelompok yang justru dilindungi dari ancaman tersebut.



Salah satu caranya adalah dengan memberi kekebalan kepada remaja itu sendiri berupa pendidikan seks. Pendidikan seks bukanlah sekedar penerangan tentang seks (atau hubungan seks), melainkan sebagaimana pendidikan lainnya (pendidikan agama, pendidikan pancasila) pendidikan seks juga mengandung nilai-nilai (baik buruk, benar salah) yang harus ditransformasikan kepada subyek didik. Nilai-nilai inilah (yang berorientasi pada agama, etika dan susila) yang akan mencegah perilaku seks yang tidak bertanggung jawab (bukan malah mendorongnya). Laporan statistik di AS (1989) misalnya menunjukkan bahwa di negara tersebut telah terjadi penurunan angka kelahiran di luar nikah di kalangan remaja kulit hitam sebanyak 20 % sejak tahun 1989. Hal ini disebabkan oleh karena para remaja, orang tua dan guru sudah semakin terbuka membicarakan tentang seks, sehingga dapat melakukan tindakan pencegahan yang diperlukan (Edwards, 1998).

Penyampaian nilai-nilai tersebut harus proporsional dan profesional. Tidak boleh terlalu menggurui (menasihati) yang sering dianggap menyebalkan oleh para remaja, juga tidak boleh terlalu amatiran (sehingga asal memberi jawaban saja walaupun salah). Pendidikan seks harus disampaikan secara bersahabat (sebagai teman) dan sekaligus berbobot (berisi informasi yang tepat dan benar). Oleh karena itulah penulis, melalui PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) mengajukan gagasan hot-line service "Sahabat Remaja" yang dioperasikan pada tahun 1982-1986 di berbagai cabang PKBI (Jakarta, Medan, Bandung,Yogyakarta, Surabaya, dan Kupang). Dengan bantuan dana dari UNFPA (United Nation Funds for Populatian Activities) dan IPPF (International Planned Parenthood Association). Model pelayanan KIE (konsultasi, informasi dan edukasi) "Sahabat Remaja" ini kemudian diadopsi oleh organisasi lain baik oleh yang di dalam PKBI ("Centra Mitra Muda") maupun di luar PKBI. Bahkan "Sahabat Remaja" dalam bentuknya yang asli masih dilanjutkan sebagai proyek PKBI Yogyakarta sampai saat ini.

Di samping pelayanan untuk perorangan yang membutuhkan melalui hot line service, perlu juga diselenggarakan program pemberian informasi kepada remaja umum (bahkan anak-anak) yang sebagian besar belum beraktivitas seksual. Informasi ini harus diberikan juga dengan cara yang baik dan benar4. (King 1998). Sulitnya kriteria baik dan benar untuk remaja umum ini sangat terkait dengan lingkungan budaya masing-masing. Perbedaan suku, perbedaan agama, perbedaan lokasi, perbedaan waktu, bahkan perbedaan kampung dan keluarga bisa menyebabkan perbedaan kriteria baik-buruk dan benar salah. Oleh karena itu sulit untuk menyusun kurikulum pendidikan seks untuk pendidikan formal di sekolah (yang harus seragam di seluruh Nusantara). Di pihak lain, juga sulit untuk menyerahkan pendidikan seks ini kepada orang tua sendiri tentang informasi seks, juga karena sikap menabukan seks yang masih kental kalangan orang tua. Karena itu sebaiknya informasi tentang seks kepada remaja umum diberikan oleh profesional (dokter, psikolog, guru, rohaniwan dsb.) yang terlatih dalam bentuk kegiatan ektrakurikuler atau ceramah-ceramah umum atau melalui media massa yang disesuaikan dengan konteks lingkungan setempat (budaya, tingkat pendidikan, pergaulan, agama, dsb.).

Selanjutnya, bagi remaja yang sudah beraktivitas seksual perlu diberikan perlakuan yang berbeda dari remaja umum. Sebagian dari yang beraktivitas seksual ini tidak memerlukan bantuan khusus karena mereka sudah mengetahui cara-cara untuk menjaga dirinya sendiri, akan tetapi sebagian lainnya melakukan aktivitas seks dengan pengetahuan yang sangat terbatas5 sehingga seringkali melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya bahkan ada yang sudah melakukan hubungan seks pranikah, misalnya tidak menggunakan kondom, hanya merasa rugi jika ia memakainya ( walaupun ia tahu bahayanya jika ia tidak memakainya) (Kuswardani, 1998). Bahkan remaja yang mempunyai sikap positif sekalipun terhadap kondom, tidak mempunyai intensi (niat) untuk memakainya dalam hubungan seks pranikah (Julprima, 1991). Pada umumnya remaja (khususnya remaja putri) yang mengalami dampak yang tidak dikehendaki dari perilaku seksnya sendiri (kebanyakan hamil diluar nikah atau ditinggalkan pacarnya setelah hubungan seks) tidak tahu harus berbuat apa karena lingkungan menyalahkannya, bahkan memusuhinya; orang tua cenderung marah dan kalau ketahuan oleh sekolahnya bisa dikeluarkan dari sekolah. Dalam keadaan ini remaja yang bersangkutan bisa mengambil jalan pintas seperti menggugurkan kandungannya (seringkali ke orang-orang yang tidak ber-tanggung jawab karena biayanya yang murah) atau bagi yang dikecewakan pa-carnya, bisa membenci semua lakilaki dan tidak berani menikah seumur hidupnya (sejumlah kecil kasus beralih preferensi seksual menjadi homoseksual).

Untuk mengurangi dampak yang makin negatif itu, diperlukan perubahan sikap dari masyarakat (terutama dari pihak orang tua dan pendidik) terhadap para korban penyalahgunaan seks. Para korban penyalahgunaan seks ini berada dalam posisi yang sangat membutuhkan pertolongan, sementara yang paling bisa memberi pertolongan pertama adalah pihak keluarga dan lingkungan sekolahnya. Tanpa mengingkari kenyataan bahwa anaknya hamil pranikah, namun kejutan ini hendaknya segera diredam dan menggantikan dengan sikap positif yang penuh dengan pengertian, memaafkan dan bersedia memberi bantuan sepenuhnya.

 Demikian pula pihak sekolah perlu bersikap melindungi pada korban-korban penyalahgunaan seks ini dan bukan malah mengucilkannya.



AKSES YANG DIBATASI



Selama kurun waktu yang cukup panjang ini, remaja (khususnya yang tinggal di kota besar dan yang berlatar belakang kelas sosial ekonomi menengah ke atas) memerlukan akses kepada sumber-sumber informasi tentang seks, bahkan juga pelayanan kesehatan reproduksi. Masalahnya adalah bahwa remaja yang secara sosial dianggap belum dewasa ini, secara fisik-fisiologik sudah matang sehingga alat-alat reproduksi dan dorongan seksnya (libido) juga sudah berfungsi penuh. Jika fungsi-fungsi reproduksi ini tidak disalurkan sebagai mana mestinya (misalnya melalui perkawinan) sudah barang tentu akan terjadi ekses (hubungan seks pranikah) kecuali jika mereka segera menikah atau jika mereka mempunyai kendali diri yang besar. Oleh karena pernikahan pada usia sekolah dan kuliah cenderung dianggap negatif (misalnya: pelajar yang ketahuan sudah menikah langsung dikeluarkan dari sekolah), maka tidak ada pilihhan lain bagi remaja untuk menghindari ekses dari dorongan seksnya tsb., kecuali dengan cara mengendalikan diri.



Tetapi dalam kenyataannya, tidak semua remaja mempunyai kendali diri yang cukup besar. Walaupun dibandingkan dengan dengan negara lain, persentase hubungan seks pranikah di kalangan remaja Indonesia masih tergolong kecil (penelitian di Indonesia menunjukan angka 1-25% sementara di berbagai negara lain bisa mencapai 40-70%1) (Population Report, 1985 dalam Sarwono, 1991), namun tetap saja untuk persentase yang kecil itu perlu diupayakan pelayanan khsusus untuk mencegah mereka tertular penyakit seksual (termasuk AIDS) dan mengalami kehamilan yang tidak direncanakan.

Tetapi pelayanan seperti itu justru sulit diperoleh di Indonesia (termasuk di Jakarta) sehubungan dengan adanya anggapan bahwa informasi tentang seks dan pelayanan kontrasepsi hanya diperuntukan bagi yang sudah menikah, sementara bagi yang belum menikah ditabukan. Pendidikan seks, misalnya sering dianggap justru akan merang sang remaja untuk melakukan perilaku seks sebelum saatnya, sementara pemberian kondom (dan kontrasepsi lainnya) kepada remaja yang sudah aktif secara seksual (bahkan juga kepada wanita tuna susila), dianggap mensahkan atau membenarkan hubungan seks yang tidak halal. Akibatnya adalah bahwa remaja terisolasi dari informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi, justru pada saat-saat yang paling rawan, sehingga tidak mengherankan jika angka penyakit menular seksual dan kehamilan remaja makin meningkat di kalangan kelompok ini.

Kendala yang menyebabkan sulit sekali bagi remaja untuk mengakses informasi tentang seks dan pelayanan kesehatan reproduksi adalah faktor agama, adat dan tradisi. Dalam alam pikiran (kognisi) sebagian besar masyarakat, masih belum dapat dipisahkan dari faktor agama dan susila di satu pihak dengan faktor kesehatan di pihak lainnya. Pendidikan seks dan pelayanan kesehatan reproduksi yang asas dan tujuannya adalah kesehatan (mental dan fisik) terus-menerus dinilai negatif karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai iman dan takwa yang dasar dan tujuannya adalah agama dan kesusilaan.

Pelayanan kesehatan reproduksi:



            Pelayanan kesehatan reproduksi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan perempuan dan laki-laki berhubungan dengan masalah seksualitas dan penjarangan kehamilan. Komponen yang termasuk didalam kesehatan  reproduksi adalah:

1.Konseling tentang seksualitas, kehamilan, alat kontrasepsi, aborsi, infertilitas, infeksi dan penyakit.

2.Pendidikan seksualitas dan jender.

3.Pencegah, skrining dan pengaobatan infeksi saluran reproduksi, penyakit menular seksual (PMS), termasuk HIV/AIDS dan masalah kebidanan lainnya.

4.Pemberian informasi yang benar sehingga secara sukarela memilih alat kontrasepsi yang ada.

5.Pencegahan dan pengobatan infertilitas.

6.Pelayanan aborsi yang aman.

7.Pelayanan kehamilan, persalinan oleh tenaaga kesehatan, pelayanan pasca kelahiran.

8.Pelayanan kesehatan untuk bayi dan anak-anak.











Pendidikan Kesehatan Reproduksi:

Kespro bagi remaja hingga kini masih sulit masuk ke dalam kurikulum pendidikan nasional. Padahal, masalah seks di kalangan remaja saat ini telah menjadi problem yang sangat serius. ''Family life education atau pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja memang penting untuk pendidikan remaja.

Permasalahan Kesehatan Reproduksi

Minimnya informasi kesehatan reproduksi remaja kerap terjadi penyalahgunaan fungsi seksual. Hanya mengejar kenikmatan sesaat, tidak sedikit dari mereka berani melakukan hubungan seksual. Tidak heran jika kini banyak permasalahan yang datang menyertainya, termasuk semakin beragamnya penyakit menular seksual (PMS) dan aborsi.

Sumber Masalah Kesehatan Reproduksi

1. Seks dengan sembarang orang

2. Seks tanpa alat pengaman (kondom)

3. Melakukan hubungan seksual saat perempuan sedang haid

4. Seks tidak normal, misalnya seks anal (melalui dubur)

5. Oral seks dengan penderita gonore, menyebabkan faringitis gonore (gonore pada kerongkongan)

6. Seks pada usia terlalu muda, bisa mengakibatkan kanker serviks

7. Perilaku hidup tidak sehat dapat mendatangkan penyakit (tekanan darah tinggi, jantung koroner, diabetes melitus) yang dapat memicu disfungsi ereksi (DE)

8. Kehidupan seks menimbulkan trauma psikologis juga faktor pemicu DE



Beberapa Penyakit Menular Seksual

1. Gonore (Kencing Nanah)

- Tanda-tanda: Nyeri, bengkak, merah, bernanah.

- Pada laki-laki: Sakit pada saat kencing, keluar nanah kental kuning kehijauan, ujung penis merah dan bengkak.

- Pada perempuan: 60% tidak menunjukkan gejala, misalnya keputihan kental kekuningan dan sakit saat kencing.

- Akibat: Pada laki-laki dan perempuan bisa menyebabkan kemandulan.

- Akibat: Pada perempuan menyebabkan radang panggul, dan dapat diturunkan pada bayi melalui infeksi pada mata, yang dapat menyebabkan kebutaan.

2. Sifilis (Raja Singa)

- Tanda-tanda : pusing, nyeri tulang seperti flu, bercak kemerahan ada tubuh sekitar 6-12 minggu setelah hubungan seks.

- Akibat: Setelah 5-10 tahun, sifilis akan menyerang susunan saraf otak, pembuluh darah, dan jantung. Pada perempuan hamil sifilis dapat ditularkan kepada bayi yang dikandungnya dan bisa lahir dengan kerusakan kulit, hati, limpa, dan keterbelakangan mental.

3. Herpes Genital

- Tanda-tanda: Bintil-bintil berair (berkelompok seperti anggur) yang sangat nyeri pada sekitar alat kelamin. Kemudian pecah dan meninggalkan luka yang kering mengerak, lalu hilang sendiri. Gejala kambuh lagi seperti di atas namun tidak senyeri tahap awal bila ada faktor pencetus (stres, haid, minuman/makanan beralkohol) dan biasanya menetap hilang timbul seumur hidup.

- Akibat: Pada perempuan, sering kali menjadi kanker mulut rahim beberapa tahun kemudian.

4. Klamidia

- Tanda-tanda: Pada perempuan keluarnya cairan dari alat kelamin atau 'keputihan encer' berwarna putih kekuningan, rasa nyeri di rongga panggul, perdarahan setelah hubungan seksual. Pada laki-laki rasa nyeri saat kencing keluar cairan bening dari saluran kencing bila ada infeksi lebih lanjut, cairan semakin sering keluar dan bercampur darah.

- Akibat: cacatnya saluran telur dan kemandulan, radang saluran kencing, robeknya saluran ketuban sehingga terjadi kelahiran bayi sebelum waktunya (prematur). Pada laki-laki akibatnya adalah rusaknya saluran air mani dan mengakibatkan kemandulan, serta radang saluran kencing.

5. HIV/AIDS

- Tanda-tanda: 3-4 tahun penderita tidak memperlihatkan gejala yang khas. Sesudahnya, tahun ke-5 atau 6 mulai timbul diare berulang, penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut, dan terjadi pembengkakan di daerah kelenjar getah bening.

-Akibat: Penurunan daya tahan tubuh secara terus-menerus, sehingga dapat menyebabkan kematian.





Untuk menghindari penyakit-penyakit yang tidak diinginkan, kita haruslah menjaga kesehatan reproduksi kita karena ini sangat penting dan tidak boleh dianggap sepele. Karena pelayanan kesehatan yang terkait dengan kesehatan reproduksi sering diabaikan. Bukan hanya terhadap perempuan tetapi juga terhadap laki-laki dan lebih khusus lagi di kalangan remaja.

Kesadaran terhadap kesehatan reproduksipun ternyata masih rendah. Selain karena biaya untuk berobat yang dinilai mahal juga kekhawatiran identitas akan dibeberkan. Ada pula yang lebih ironis yaitu alasan mendasar yang membuat mereka jarang bahkan tidak pernah memperhatikan kesehatan reproduksi karena mereka tidak mengetahui sama sekali apa yang harus diperiksa dan ke mana mereka dapat memeriksa kesehatan reproduksi.

Bahaya Aborsi bagi Remaja

Aborsi yang dilakukan sebelum usia kehamilan mencapai 20 minggu, menggunakan obat-obatan ataupun tindakan medik, dinilai berbahaya. Apalagi, jika aborsi terjadi pada remaja putri berusia 15-19 tahun. Usia 19 tahun tidak menjamin kesehatan secara fisik, mental, maupun sosial untuk proses reproduksi. Karena itu, aborsi yang disengaja pada remaja putri lebih berisiko dibanding perbuatan sama yang dilakukan perempuan berusia lebih tua.

Kehamilan pada remaja sering berakhir dengan aborsi, karena memang bayi yang dikandung itu tak diinginkan kehadirannya. Komplikasi aborsi berupa robeknya rahim dan kelainan pada pembekuan darah, dimungkinkan terjadi saat remaja putri mendapatkannya tidak aman karena sarana pelayanannya ilegal. Komplikasi yang muncul bukan saja dialami ibu muda, juga menimpa janin atau bayinya, sehingga meningkatkan angka penderita maupun kematian pada keduanya.



Tips Menjaga Kesehatan Reproduksi

1. Jika belum menikah, jangan melakukan hubungan seksual dahulu.

2. Setia dengan satu pasangan seksual yang sah.

3. Jangan tertipu dengan penampilan. Orang yang terlihat bersih dan resik belum tentu bebas PMS.

4. Gunakan kondom, terutama jika berhubungan dengan kelompok berisiko tinggi, misalnya pekerja seks komersial.

5. Selalu bersihkan alat kelamin sebelum dan sesudah berhubungan seksual.

7. Jika pasangan seks terkena PMS, keduanya harus menjalani pengobatan. (MI/OL).

Akhirnya, untuk remaja yang sudah beraktivitas seks namun belum mempunyai pengetahuan seks yang cukup untuk menjaga dirinya sendiri, perlu diberikan bekal pendidikan seks yang materinya lebih banyak berupa kiat-kiat untuk berperilaku seks yang aman dan sehat. Materi ini tentu sangat berbeda dari pendidikan seks untuk remaja umum karena sasarannya juga berbeda. Oleh karena perilaku seksual mereka bukan karena alasan agama (Sarwono 1998) maka juga tidak realistik jika mereka diharapkan menghentikan aktivitas seksualnya melalui pendidikan agama. Bagi mereka berlaku dalil bahwa perilaku seks yang tidak sesuai dengan norma agama dan susila tetap bisa dijaga keamanannya dengan cara berperilaku seksual yang sehat. Tentu saja ini memerlukan perubahan sikap dari masyarakat (termasuk tokoh-tokoh agama) agar menyelamatkan para remaja yang sudah beraktivitas seks ini tidak banyak mengalami hambatan sehingga akhirnya justru dampak yang tidak diharapkan (kehamilah pranikah, aborsi, penyakit menular seksual, AIDS) makin meningkat







DAFTAR PUSTAKA



* Edwards, T.M. 1998: The opposite sex,Time 13 Juli

    * Julprima H, 1991: Sikap, norma subyektif dan intensi remaja terhadap penggunaan kondom dalam hubungan seks pranikah, skripsi, Jakarta Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

    * King R. 1998: Keep your children safe, The weekend Australian, 10-11 Oktober

    * Kuswandari, A.N. 1998: Penggunaan Kondom pada pria dewasa muda ditinjau dari Health belief Model. skripsi, Jakarta Fakultas Universitas Indonesia

    * Penjol I. 1990: Konsep diri dan perilaku hubungan seks pramarital pada remaja, skripsi, Jakarta Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

    * Sarwono, W.S. 1991: Psikologi remaja, Jakarta Rajawali. Sarwono, S.W. 1998: Aborsi, AIDS dan Kondom, Kompas 3 Januari

    * Sutadi, S.R.L. 1985: Hubungan antara pendidikan seks dan sikap serba boleh dalam pe rilaku seksual sebelum pernikahan di kalangan remaja siswa sebuah SMA Jakarta skripsi, Jakarta Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

    * Templeton, R.1998: Sex pest aged five, The Sunday Mail,Qeenland , Australia, 18 Oktober

    * Tuapattinaja, J.M.R. 1983: FIRO-B dan Hubungan seks sebelum perkawinan, skripsi Jakarta Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

    * Yofita, 1998: Faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya hubungan seksual di luar nikah dalam ikatan perkawinan pada wanita di Jakarta, skripsi Jakarta Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

    * Zainuddin, R.M. 1998: Atribusi kausal affair (suatu penelitian di kalangan wanita lajang di Jakarta ), skripsi Jakarta Fakultas Psikologi Universtas Indonesia.



Sumber : http://www.bkkbn.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar