ASUHAN
KEPERAWATAN PADA KLIEN TRAUMA KEPALA DI RUANG BEDAH F RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA
A. Prinsip -
Prinsip pada Trauma Kepala
K
Tulang tengkorak sebagai pelindung jaringan otak, mempunyai
daya elastisitas untuk mengatasi adanya pukulan.
K
Bila daya/toleransi elastisitas
terlampau akan terjadi fraktur.
K
Berat/ringannya cedera tergantung pada :
1. Lokasi yang
terpengaruh :
Ü
Cedera kulit.
Ü
Cedera jaringan tulang.
Ü
Cedera jaringan otak.
2.
Keadaan kepala saat terjadi benturan.
K
Masalah utama adalah terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial (PTIK)
K
TIK dipertahankan oleh 3 komponen :
1.
Volume darah /Pembuluh darah (± 75 - 150 ml).
2.
Volume Jaringan Otak (±. 1200 - 1400 ml).
3. Volume LCS (± 75 - 150 ml).
Trauma
kepala
Kulit Tulang kepala Jaringan
otak
Fraktur -
Komusio
Ü
Fraktur linear. - Edema
Ü
Fraktur comnunited -
Kontusio
Ü
Fraktur depressed - Hematom
Ü
Fraktur
basis
TIK meningkat
Ü
Gangguan kesadaran
Ü
Gangguan tanda-tanda vital
Ü
Kelainan neurologis
B.
Etiologi
1.
Kecelakaan
2.
Jatuh
3.
Trauma akibat persalinan.
C.
Patofisiologi
Cidera Kepala
Cidera otak primer
Cidera otak sekunder
Ü
Kontosio
Ü
Laserasi
Kerusakan sel otak Respon biologik
Sembuh
Gangguan aliran darah otak
TIK meningkat
:
Ü
Edema
Ü
Hematom
Ü
Metabolisme anaerobik
Ü
Hipoximia
Respon biologik
Gejala :
1.
Jika klien sadar ----- sakit kepala hebat.
2.
Muntah proyektil.
3.
Papil edema.
4.
Kesadaran makin menurun.
5.
Perubahan tipe kesadaran.
6.
Tekanan darah menurun, bradikardia.
7.
An isokor.
8.
Suhu tubuh yang sulit dikendalikan.
Trauma
Kepala
Gangguan auto regulasi
TIK meningkat Aliran darah
otak menurun
Edema otak Gangguan
metabolisme
Ü
O2 menurun.
Ü
CO2
meningkat.
Asam
laktat meningkat
Metabolik anaerobik
Tipe Trauma
kepala :
1.
Trauma kepala terbuka.
2.
Trauma kepala tertutup.
Trauma kepala
terbuka :
Kerusakan otak
dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam jaringan otak dan melukai :
Ü
Merobek duramater -----LCS merembes.
Ü
Saraf otak
Ü
Jaringan otak.
Gejala fraktur
basis :
Ü
Battle sign.
Ü
Hemotympanum.
Ü
Periorbital echymosis.
Ü
Rhinorrhoe.
Ü
Orthorrhoe.
Ü
Brill hematom.
Trauma Kepala
Tertutup :
1.
Komosio
2.
Kontosio.
3.
Hematom epidural.
4.
Hematom subdural.
5.
Hematom intrakranial.
Komosio / gegar
otak :
Ü
Cidera kepala ringan
Ü
Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali.
Ü
Hilang kesadaran sementara , kurang dari 10 - 20 menit.
Ü
Tanpa kerusakan otak permanen.
Ü
Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah.
Ü
Disorientasi sementara.
Ü
Tidak ada gejala sisa.
Ü
MRS kurang 48 jam ---- kontrol 24 jam I , observasi
tanda-tanda vital.
Ü
Tidak ada terapi khusus.
Ü
Istirahat mutlak ---- setelah keluhan hilang coba
mobilisasi bertahap, duduk --- berdiri -- pulang.
Ü
Setelah pulang ---- kontrol, aktivitas sesuai, istirahat
cukup, diet cukup.
Kontosio Cerebri
/ memar otak :
Ü
Ada memar otak.
Ü
Perdarahan kecil lokal/difus ---- gangguan lokal ---
perdarahan.
Ü
Gejala :
-
Gangguan kesadaran lebih lama.
-
Kelainan neurologik positip, reflek patologik positip,
lumpuh, konvulsi.
-
Gejala TIK meningkat.
-
Amnesia retrograd lebih nyata.
Hematom Epidural
:
Ü
Perdarahan anatara tulang tengkorak dan duramater.
Ü
Lokasi tersering temporal dan frontal.
Ü
Sumber : pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus
venosus.
Ü
Katagori talk and die.
Ü
Gejala : (manifestasi adanya proses desak ruang).
- Penurunan
kesadaran ringan saat kejadian ----- periode Lucid (beberapa menit -
beberapa jam) ---- penurunan kesadaran hebat --- koma, deserebrasi,
dekortisasi, pupil an isokor, nyeri kepala hebat, reflek patologik positip.
Hematom Subdural
:
Ü
Perdarahan antara duramater dan arachnoid.
Ü
Biasanya pecah vena --- akut, sub akut, kronis.
Ü
Akut :
- Gejala 24 - 48 jam.
- Sering berhubungan dnegan cidera otak
& medulla oblongata.
- PTIK meningkat.
- Sakit kepala, kantuk, reflek melambat,
bingung, reflek pupil lambat.
Ü
Sub Akut :
-
Berkembang 7 - 10 hari, kontosio agak berat, adanya gejal TIK meningkat
--- kesadaran menurun.
Ü
Kronis :
-Ringan , 2 minggu - 3 - 4 bulan.
-Perdarahan kecil-kecil terkumpul pelan
dan meluas.
-Gejala sakit kepala, letargi, kacau
mental, kejang, disfagia.
Hematom
Intrakranial :
Ü
Perdarahan intraserebral
± 25 cc atau lebih.
Ü
Selalu diikuti oleh kontosio.
Ü
Penyebab : Fraktur depresi, penetrasi peluru, gerakan
akselerasi - deselerasi mendadak.
Ü
Herniasi merupakan ancaman nyata, adanya bekuan darah,
edema lokal.
Pengaruh Trauma
Kepala :
Ü
Sistem pernapasan
Ü
Sistem kardiovaskuler.
Ü
Sistem Metabolisme.
Sistem
Pernapasan :
TIK meningkat
Hipoksemia,
hiperkapnia
Meningkatkan rangsang simpatis
Peningkatan hambatan difusi
O2 - Co2.
Edema paru Meningkatkan tahanan
vask. sistemik dan tek darah
Meningkatkan tek, hidrostatik
Kebocoran cairan kapiler
Sistem
pembuluh darah pulmonal tek. rendah.
Karena adanya
kompresi langsung pada batang otak ---- gejala pernapasan abnormal :
Ü
Chyne stokes.
Ü
Hiperventilasi.
Ü
Apneu.
Sistem
Kardivaskuler :
Ü
Trauma kepala --- perubahan fungsi jantung : kontraksi,
edema paru, tek. Vaskuler.
Ü
Perubahan saraf otonoom pada fungsi ventrikel :
-Disritmia.
-Fibrilasi.
-Takikardia.
Ü
Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis --- terjadi
penurunan kontraktilitas ventrikel. ---- curah jantung menurun --- menigkatkan
tahanan ventrikel kiri --- edema paru.
Sistem
Metabolisme :
Ü
Trauma kepala --- cenderung terjadi retensi Na, air, dan
hilangnya sejumlah nitrogen.
Ü
Dalam keadaan stress fisiologis.
Trauma
ADH dilepas
Retensi Na dan air
Out put urine menurun
Konsentrasi elektrolit
meningkat
Ü
Normal
kembali setelah 1 - 2 hari.
Ü
Pada
keadaan lain :
Fraktur
Tengkorak
Kerusakan hipofisis
Atau
hipotalamus
Penurunan ADH
Diabetes Mellitus
Ginjal
Ekskresi air
Dehidrasi
Hilang nitrogen meningkat
------------ respon metabolik terhadap trauma.
Trauma
Tubuh perlu energi untuk
perbaikan
Nutrisi berkurang
Penghancuran protein otot sebagai sumber nitrogen utama.
]
Pengaruh Pada G.I Tract. :
3 hari pasca trauma ---
respon tubuh merangsang hipotalamus dan stimulus vagal.
Lambung hiperacidi
Hipotalamus ------
hipofisis anterior
Adrenal
Steroid
Peningkatan sekresi asam lambung
Hiperacidi
Trauma
Stress Perdarahan lambung
Katekolamin meningkat.
Pengkajian
Pengumpulan data pasien baik
subyektif atau obyektif pada gangguan sistem persyarafan sehubungan dengan
trauma kepala adalah sebagi berikut :
1.
Identitas pasien
dan keluarga (penanggung jawab) :
nama, umur, jenis kelamin, agama/suku bangsa, status perkawinan, alamat,
golongan darah, penghasilan, hubungan pasien dengan penagnggung jawab, dll.
2.
Riwayat
Kesehatan :
Pada umumnya
pasien dengan trauma kepala, datang ke rumah sakit dengan penurunan tingkat
kesadaran (GCS di bawah 15), bingung, muntah, dispnea/takipnea, sakit kepala,
wajah tidak simestris, lemah, paralise, hemiparise, luka di kepala, akumulasi
spuntum pada saluran nafas, adanya liquor dari hidung dan telinga, dan adanya
kejang.
Riwayat penyakit dahulu :
Haruslah
diketahui baik yang berhubungan dnegan sistem persarafan maupun penyakit sistem
sistemik lainnya. Demikian pula riwayat penyakit keluarga, terutama yang
mempunyai penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari pasien
atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat
mempengaruhi pronosa pasien.
3.
Pemeriksaan Fisik :
Aspek Neurologis :
Yang dikaji
adalah Tingkat kesadaran, biasanya GCS kurang dari 15, disorentasi orang/tempat
dan waktu, adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai tanda-tanda
vital, adanya gerakan decebrasi atau dekortikasi dan kemungkinan didapatkan
kaku kuduk dengan brudzinski positif. Adanya hemiparese.
Pada pasien
sadar, dia tidak dapat membedakan berbagai rangsangan/stimulus rasa, raba, suhu
dan getaran. Terjadi gerakan-gerakan
involunter, kejang dan ataksia, karena gangguan koordinasi. Pasien juga tidak
dapat mengingat kejadian sebelum dan sesuadah trauma. Gangguan keseimbangan
dimana pasien sadar, dapat terlihat limbung atau tidak dapat mempertajhankana
keseimabangan tubuh.
Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala
meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan
nervus I (Olfaktorius) : memperlihatkan gejala penurunan daya penciuman dan
anosmia bilateral. Nervus II (Optikus), pada trauma frontalis : memperlihatkan
gejala berupa penurunan gejala penglihatan. Nervus III (Okulomotorius), Nervus
IV (Trokhlearis) dan Nervus VI (Abducens), kerusakannya akan menyebabkan
penurunan lapang pandang, refleks cahaya ,menurun, perubahan ukuran pupil, bola
mata tidak dapat mengikuti perintah, anisokor.
Nervus V
(Trigeminus), gangguannya ditandai ; adanya anestesi daerah dahi. Nervus VII
(Fasialis), pada trauma kapitis yang mengenai neuron motorik atas unilateral
dapat menurunkan fungsinya, tidak adanya lipatan nasolabial, melemahnya
penutupan kelopak mata dan hilangnya rasa pada 2/3 bagian lidah anterior lidah.
Nervus VIII
(Akustikus), pada pasien sadar gejalanya berupa menurunnya daya pendengaran dan
kesimbangan tubuh. Nervus IX (Glosofaringeus). Nervus X (Vagus), dan Nervus XI
(Assesorius), gejala jarang ditemukan karena penderita akan meninggal apabila
trauma mengenai saraf tersebut. Adanya Hiccuping (cekungan) karena kompresi
pada nervus vagus, yang menyebabkan kompresi spasmodik dan diafragma. Hal ini
terjadi karena kompresi batang otak. Cekungan yang terjadi, biasanya yang
berisiko peningkatan tekanan intrakranial.
Nervus XII
(hipoglosus), gejala yang biasa timbul, adalah jatuhnya lidah kesalah satu
sisi, disfagia dan disartria. Hal ini menyebabkan adanya kesulitan menelan.
Aspek Kardiovaskuler :
Didapat
perubahan tekanan darah menurun, kecuali apabila terjadi peningkatan
intrakranial maka tekanan darah meningkat, denyut nadi bradikardi, kemudian
takhikardia, atau iramanya tidak teratur. Selain itu pengkajian lain yang perlu
dikumpulkan adalah adanya perdarahan atau cairan yang keluar dari mulut,
hidung, telinga, mata. Adanya hipereskresi pada rongga mulut. Adanya perdarahan
terbuka/hematoma pada bagian tubuh lainnya. Hal ini perlu pengkajian dari
kepalal hingga kaki.
Aspek sistem pernapasan :
Terjadi
perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi yaitu cepat dan
dangkal, irama tidak teratur (chyne stokes, ataxia brething), bunyi napas
ronchi, wheezing atau stridor. Adanya sekret pada tracheo brokhiolus.
Peningkatan suhu tubuh dapat terjadi karena adanya infeksi atau rangsangan
terhadap hipotalamus sebagai pusat pengatur suhu tubuh.
Aspek sistem eliminasi :
Akan didapatkan
retensi/inkontinen dalam hal buang air besar atau kecil. Terdapat
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dimana terdapat hiponatremia atau
hipokalemia. Pada sistem gastro-intestinal perlu dikaji tanda-tanda penurunan
fungsi saluran pencernaan seperti bising usus yang tidak terdengar/lemah, aanya
mual dan muntah. Hal ini menjadi dasar dalam pemberian makanan.
Glasgow Coma
Scale :
I.
Reaksi Membuka
Mata.
4. Buka mata
spontan.
3. Buka mata
bila dipanggil/rangsangan suara.
2. Buka mata
bila dirangsang nyeri.
1.Tidak reaksi
dengan rangsangan apapun.
II.
Reaksi Berbicara
4. Komunikasi
verbal baik, jawaban tepat.
3. Bingung,
disorentasi waktu, tempat dan person.
2. Dengan
rangsangan, reaksi hanya berupa kata
tidak membentuk kalimat.
1. Tidak ada
reaksi dengan rangsangan apapun.
III.
Reaksi Gerakan
Lengan / Tungkai
6. Mengikuti
perintah.
5. Dengan
rangsangan nyeri dapat mengetahui tempat rangsangan.
4. Dengan
rangsangan nyeri, menarik anggota badan.
3. Dengan
rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal.
2. Dengan
rangsangan nyeri, timbul reaksi extensi abnormal.
1. Dengan
rangsangan nyeri, tidak ada reaksi
4.
Pengkajian Psikologis :
Dimana pasien
dnegan tingkat kesadarannya menurun, maka untuk data psikologisnya tidak dapat
dinilai, sedangkan pada pasien yang tingkat kesadarannya agak normal akan
terlihat adanya gangguan emosi, perubahan tingkah laku, emosi yang labil,
iritabel, apatis, delirium, dan kebingungan keluarga pasien karena mengalami kecemasan
sehubungan dengan penyakitnya.
Data sosial yang
diperlukan adalah bagaimana psien berhubungan dnegan orang-orang terdekat dan
yang lainnya, kemampuan berkomunikasi dan peranannya dalam keluarga. Serta
pandangan pasien terhadap dirinya setelah mengalami trauma kepala dan rasa
aman.
5.
Data spiritual :
Diperlukan
adalah ketaatan terhadap agamanya, semangat dan falsafah hidup pasien serta
ke-Tuhanan yang diyakininya. Tentu saja data yang dikumpulkan bila tidak ada
penurunan kesadaran.
6.
Pemeriksaan Diagnostik :
Pemeriksaan
diagnostik yang dilakukan dalam menegakkan diagnosa medis adalah:
ò
X-Ray tengkorak.
ò
CT-Scan.
ò
Angiografi.
7.
Penatalaksanaan Medis Pada Trauma Kepala :
Obat-obatan :
ò
Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringanya trauma.
ò
Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk
mengurnagi vasodilatasi.
ò
Pengobatan anti edema dnegan larutan hipertonis yaitu
manitol 20 % atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
ò
Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin)
atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
ò
Makanan atau cairan, Pada trauma ringan bila muntah-muntah
tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin,
aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian
diberikan makanan lunak.
ò
Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat
penderita mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium
dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan.
Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam
ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui
nasogastric tube (2500 - 3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai ure
nitrogennya.
ò
Pembedahan.
Prioritas
Diagnosa Keperawatan :
1.
Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan gangguan
peredaran darah karena adanya penekanan dari lesi (perdarahan, hematoma).
2.
Potensial atau aktual tidak efektinya pola pernapasan,
berhubungan dengan kerusakan pusat pernapasan di medulla oblongata.
3.
Potensial terjadinya peningkatan tekanan intrakranial
berhubungan dengan adanya proses desak ruang akibat penumpukan cairan darah di
dalam otak.
4.
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan
dnegan penurunan produksi anti diuretik hormon (ADH) akibat terfiksasinya
hipotalamus.
5.
Aktual/Potensial terjadi gangguan kebutuhannutrisi : Kurang
dari kebutuhan berhubungan dengan
berkurangnya kemampuan menerima nutrisi akibat menurunnya kesadaran.
6.
Gangguan mobilisasi
fisik berhubungan dengan imobilisasi, aturan terapi untuk tirah baring.
7.
Gangguan persepsi sensoris berhubungan dengan penurunan
daya penangkapan sensoris.
8.
Potensial terjadinya infeksi berhubungan dnegan masuknya
kuman melalui jaringan atau kontinuitas yang rusak.
9.
Gangguan rasa nyaman : Nyeri kepala berhubunagn dnegan
kerusakan jaringan otak dan perdarahan otak/peningkatan tekanan intrakranial.
10.
Gangguan rasa aman : Cemas dari keluarga berhubungan dengan
ketidakpastian terhadap pengobatan dan perawatan serta adanya perubahan situasi
dan krisis.
Intervensi :
1.
Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab
coma/penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK.
R/ Deteksi dini
untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status neurologi/tanda-tanda
kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan.
2.
Monitor GCS dan mencatatnya.
R/ Menganalisa
tingkat kesadaran dan kemungkinan dari peningkatan TIK dan menentukan lokasi
dari lesi.
3.
Memonitor tanda-tanda vital.
R/ Suatu kedaan
normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai
dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari outoregulator kebanyakan
merupakan tanda penurun difusi lokal vaskularisasi darah serebral. Dengan
peningkatan tekanan darah (diatolik) maka dibarengi dengan peningkatan tekanan
darah intra kranial. Hipovolumik/hipotensi merupakan manifestasi dari multiple
trauma yang dapat menyebabkan ischemia serebral. HR dan disrhytmia merupakan
perkembangan dari gangguan batang otak.
4.
Evaluasi pupil.
R/ Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola
mata merupakan tanda dari gangguan nervus/saraf jika batang otak terkoyak.
Keseimbangan saraf antara simpatik dan parasimpatik merupakan respon reflek
nervus kranial.
5.
Kaji penglihatan, daya ingat, pergerakan mata dan reaksi
reflek babinski.
R/ Kemungkinan
injuri pada otak besar atau batang otak. Penurunan reflek penglihatan merupakan
tanda dari trauma pons dan medulla. Batuk dan cekukan merupakan reflek dari
gangguan medulla.Adanya babinski reflek indikasi adanya injuri pada otak
piramidal.
6.
Monitor temperatur dan pengaturan suhu lingkungan.
R/ Panas
merupakan reflek dari hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolisme dan O2
akan menunjang peningkatan ICP.
7.
Monitor intake, dan output : catat turgor kulit, keadaa
membran mukosa.
R/ Indikasi dari
gangguan perfusi jaringan trauma kepala dapat menyebabkan diabetes insipedus
atau syndroma peningkatan sekresi ADH.
8.
Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan
dnegan sedikit bantal. Hindari penggunaan bantal yang banyak pada kepala.
R/ Arahkan
kepala ke salah datu sisi vena jugularis dan menghambat drainage pada vena
cerebral dan meningkatkan ICP.
9.
Berikan periode istirahat anatara tindakan perawatan dan
batasi lamanya prosedur.
R. Tindakan yang
terus-menerus dapat meningkatkan ICP oleh efek rangsangan komulatif.
10. Kurangi
rangsangan esktra dan berikan rasa nyaman seperti massage punggung, lingkungan
yang tenang, sentuhan yang ramah dan suasana/pembicaraan yang tidak gaduh.
R/ Memberikan
suasana yang tenag (colming efek) dapat mengurangi respon psikologis dan
memberikan istirahat untuk mempertahankan/ICP yang rendah.
11. Bantu pasien
jika batuk, muntah.
R/ Aktivitas ini
dapat meningkatkan intra thorak/tekanan dalam torak dan tekanan dalam abdomen
dimana akitivitas ini dapat meningkatkan tekanan ICP.
12. Kaji peningkatan
istirahat dan tingkah laku pada pagi hari.
R/ Tingkah non
verbal ini dpat merupakan indikasi peningkatan ICP atau memberikan reflek nyeri
dimana pasien tidak mampu mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri yang tidak
menurun dapat meningkatakan ICP.
13. Palpasi pada
pembesaran/pelebaran blader, pertahankan drainage urin secara paten jika
digunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi.
R/ Dapat
meningkatkan respon automatik yang potensial menaikan ICP.
Kolaborasi :
14. Naikkan kepala
pada tempat tidur/bed 15 - 45 derajat sesuai dengan tolenransi/indikasi.
R/ Peningkatan
drainage/aliran vena dari kepala, mengurangi kongesti cerebral dan edema/resiko
terjadi ICP.
15. Berikan cairan
intra vena sesuai dengan yang dindikasikan.
R/ Pemberian
cairan mungkin diinginkan untuk menguransi edema cerebral, peningkatan minimum pada pembuluh darah,
tekanan darah dan ICP.
16. Berikan Oksigen.
R/ Mengurangi
hipoxemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi cerebral dan volume darah dan
menaikkan ICP.
17. Berikan obat
Diuretik contohnya : mannitol, furoscide.
R/ Diuretik
mungkin digunakan pada pase akut untuk mengalirkan air dari brain cells, dan
mengurangi edema cerebral dan ICP.
18. Berikan Steroid
contohnya : Dextamethason, methyl prednisolone.
R/ Untuk
menurunkan inflamasi (radang) dan mengurangi edema jaringan.
19. Berikan
analgesik dosis tinggi contoh : Codein.
R/ Mungkin
diindikasikan untuk mengurangi nyeri dan obat ini berefek negatif pada ICP
tetapi dapat digunakan dengan sebab untuk mencegah.
20. Berikan Sedatif
contoh : Benadryl.
R/ Mungkin
digunakan untuk mengontrol kurangnya istirahat dan agitasi.
21. Berikan
antipiretik, contohnya : aseptaminophen.
R/
Mengurangi/mengontrol hari dan pada metabolisme serebral/oksigen yang
diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.P. (1999). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan,
Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif. Ed.2. Jakarta : EGC.
Komite Keperawatan RSUD Dr. Soedono Madiun. (1999). Penatalaksanaan
Pada Kasus Trauma Kepala. Makalah Kegawat daruratan dalam bidang bedah. Tidak
dipublikasikan.
Long, B.C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses
Kperawatan). Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Bandung.
Makalah Kuliah Medikal bedah PSIK FK Unair Surabaya. Tidak
Dipublikasikan
Reksoprodjo, S. dkk. (1995). Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta :
Bina rupa Aksara.
Rothrock, J.C. (1999). Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif.
Jakarta : EGC.
Tucker, S.M. (1998). Standart Perawatan Pasien : Proses Keperawatan,
Diagnosis dan Evaluasi. Ed. 1 . Jakarta : ECG.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar