Minggu, 17 Maret 2013

LAPORAN PENDAHULUAN TRAUMA KEPALA



KONSEP MEDIS
A. Prinsip - Prinsip pada Trauma Kepala

Definisi Penyakit

Comutio cerebri (Trauma Kepala) adalah luka yang terjadi pada kulit kepala, tulang kepala atau otak (Billing dan Stokes, 1982). Trauma kepala dapat mempengaruhi perubahan fisik maupun psikologis bagi klien dan keluarganya (Siahaan, 1994).
Tulang tengkorak sebagai pelindung jaringan otak, mempunyai daya elastisitas untuk mengatasi adanya pukulan.
Bila  daya/toleransi elastisitas terlampau akan terjadi fraktur.
Berat/ringannya cedera tergantung pada :
1. Lokasi yang terpengaruh :
Cedera kulit.
Cedera jaringan tulang.
Cedera jaringan otak.
2. Keadaan kepala saat terjadi benturan.
Masalah utama adalah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial (PTIK)
TIK dipertahankan oleh 3 komponen :
1. Volume darah /Pembuluh darah  ( 75 - 150 ml).
2. Volume Jaringan Otak (. 1200 - 1400 ml).
3. Volume LCS ( 75 - 150 ml).


                                     Trauma kepala



Kulit Tulang  kepala Jaringan otak


      Fraktur - Komusio
Fraktur linear. - Edema
Fraktur comnunited - Kontusio
Fraktur depressed - Hematom
Fraktur basis




           TIK meningkat
Gangguan kesadaran
Gangguan tanda-tanda vital
Kelainan neurologis
B. Etiologi
1. Kecelakaan
2. Jatuh
3. Trauma akibat persalinan.


C. Patofisiologi


Cidera Kepala

Cidera otak primer                                                                                  Cidera otak sekunder


Kontosio
Laserasi                                             Kerusakan sel otak                         Respon biologik


    Sembuh                                         Gangguan aliran darah otak                TIK meningkat :
Edema
Hematom
Metabolisme anaerobik
Hipoximia


Respon biologik


Gejala :
1. Jika klien sadar ----- sakit kepala hebat.
2. Muntah proyektil.
3. Papil edema.
4. Kesadaran makin menurun.
5. Perubahan tipe kesadaran.
6. Tekanan darah menurun, bradikardia.
7. An isokor.
8. Suhu tubuh yang sulit dikendalikan.














Trauma  Kepala


Gangguan auto regulasi


         TIK meningkat Aliran darah otak menurun


               Edema otak Gangguan metabolisme
O2 menurun.
CO2 meningkat.
                    Asam laktat meningkat

                                                       Metabolik anaerobik


Tipe Trauma kepala :
1. Trauma kepala terbuka.
2. Trauma kepala tertutup.

Trauma kepala terbuka :
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam jaringan otak dan melukai :
Merobek duramater -----LCS merembes.
Saraf otak
Jaringan otak.

Gejala fraktur basis :
Battle sign.
Hemotympanum.
Periorbital echymosis.
Rhinorrhoe.
Orthorrhoe.
Brill hematom.




Trauma Kepala Tertutup :
1. Komosio
2. Kontosio.
3. Hematom epidural.
4. Hematom subdural.
5. Hematom intrakranial.

Komosio / gegar otak :
Cidera kepala ringan
Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali.
Hilang kesadaran sementara , kurang dari 10 - 20 menit.
Tanpa kerusakan otak permanen.
Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah.
Disorientasi sementara.
Tidak ada gejala sisa.
MRS kurang 48 jam ---- kontrol 24 jam I , observasi tanda-tanda vital.
Tidak ada terapi khusus.
Istirahat mutlak ---- setelah keluhan hilang coba mobilisasi bertahap, duduk --- berdiri -- pulang.
Setelah pulang ---- kontrol, aktivitas sesuai, istirahat cukup, diet cukup.

Kontosio Cerebri / memar otak :
Ada memar otak.
Perdarahan kecil lokal/difus ---- gangguan lokal --- perdarahan.
Gejala :
- Gangguan kesadaran lebih lama.
- Kelainan neurologik positip, reflek patologik positip, lumpuh, konvulsi.
- Gejala TIK meningkat.
- Amnesia retrograd lebih nyata.




Hematom Epidural :
Perdarahan anatara tulang tengkorak dan duramater.
Lokasi tersering temporal dan frontal.
Sumber : pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus.
Katagori talk and die.
Gejala : (manifestasi adanya  proses desak ruang).
-  Penurunan  kesadaran ringan saat kejadian ----- periode Lucid (beberapa menit - beberapa jam) ---- penurunan kesadaran hebat --- koma, deserebrasi, dekortisasi, pupil an isokor, nyeri kepala hebat, reflek patologik positip.

Hematom Subdural :
Perdarahan antara duramater dan arachnoid.
Biasanya pecah vena --- akut, sub akut, kronis.
Akut :
- Gejala 24 - 48 jam.
- Sering berhubungan dnegan cidera otak & medulla oblongata.
- PTIK meningkat.
- Sakit kepala, kantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil lambat.

Sub Akut :
-    Berkembang 7 - 10 hari, kontosio agak berat, adanya gejal TIK meningkat --- kesadaran menurun.

Kronis :
- Ringan , 2 minggu - 3 - 4 bulan.
- Perdarahan kecil-kecil terkumpul pelan dan meluas.
- Gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, disfagia.

Hematom Intrakranial :
Perdarahan intraserebral  ± 25 cc atau lebih.
Selalu diikuti oleh kontosio.
Penyebab : Fraktur depresi, penetrasi peluru, gerakan akselerasi - deselerasi mendadak.
Herniasi merupakan ancaman nyata, adanya bekuan darah, edema lokal.
Pengaruh Trauma Kepala :
Sistem pernapasan
Sistem kardiovaskuler.
Sistem Metabolisme.

Sistem Pernapasan :
TIK meningkat

Hipoksemia, hiperkapnia                                                  Meningkatkan rangsang simpatis


Peningkatan hambatan difusi O2 - Co2.


              Edema paru                          Meningkatkan tahanan vask. sistemik dan tek darah


Meningkatkan tek, hidrostatik
Kebocoran cairan kapiler


                                                                Sistem pembuluh darah pulmonal tek. rendah.

Karena adanya kompresi langsung pada batang otak ---- gejala pernapasan abnormal :
Chyne stokes.
Hiperventilasi.
Apneu.

Sistem Kardivaskuler :
Trauma kepala --- perubahan fungsi jantung : kontraksi, edema paru, tek. Vaskuler.
Perubahan saraf otonoom pada fungsi ventrikel :
- Disritmia.
- Fibrilasi.
- Takikardia.
Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis --- terjadi penurunan kontraktilitas ventrikel. ---- curah jantung menurun --- menigkatkan tahanan ventrikel kiri --- edema paru.


Sistem Metabolisme :
Trauma kepala --- cenderung terjadi retensi Na, air, dan hilangnya sejumlah nitrogen.
Dalam keadaan stress fisiologis.

Trauma

ADH dilepas

Retensi Na dan air

Out put urine menurun
Konsentrasi elektrolit meningkat

Normal kembali setelah 1 - 2 hari.
Pada keadaan lain :

           Fraktur Tengkorak                                               Kerusakan hipofisis
                                                                                     Atau hipotalamus


          Penurunan ADH                                                    Diabetes Mellitus

                 Ginjal

                              Ekskresi air                              Dehidrasi


Hilang nitrogen meningkat ------------ respon metabolik terhadap trauma.

Trauma


Tubuh perlu energi untuk perbaikan


Nutrisi berkurang

                                    Penghancuran protein otot sebagai sumber nitrogen utama.











Pengaruh Pada G.I Tract. :
3 hari pasca trauma --- respon tubuh merangsang hipotalamus dan stimulus vagal.

Lambung hiperacidi


Hipotalamus ------ hipofisis anterior

                             Adrenal

                            Steroid

         Peningkatan sekresi asam lambung

                               Hiperacidi
Trauma

Stress                Perdarahan lambung


Katekolamin meningkat.































KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
Pengumpulan data pasien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem persyarafan sehubungan dengan trauma kepala adalah sebagi berikut :
1. Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab) : nama, umur, jenis kelamin, agama/suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, penghasilan, hubungan pasien dengan penagnggung jawab, dll.
2. Riwayat Kesehatan :
Pada umumnya pasien dengan trauma kepala, datang ke rumah sakit dengan penurunan tingkat kesadaran (GCS di bawah 15), bingung, muntah, dispnea/takipnea, sakit kepala, wajah tidak simestris, lemah, paralise, hemiparise, luka di kepala, akumulasi spuntum pada saluran nafas, adanya liquor dari hidung dan telinga, dan adanya kejang.
Riwayat penyakit dahulu :
Haruslah diketahui baik yang berhubungan dnegan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. Demikian pula riwayat penyakit keluarga, terutama yang mempunyai penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari pasien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi pronosa pasien.
3. Pemeriksaan Fisik :
Aspek Neurologis :
Yang dikaji adalah Tingkat kesadaran, biasanya GCS kurang dari 15, disorentasi orang/tempat dan waktu, adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital, adanya gerakan decebrasi atau dekortikasi dan kemungkinan didapatkan kaku kuduk dengan brudzinski positif. Adanya hemiparese.
Pada pasien sadar, dia tidak dapat membedakan berbagai rangsangan/stimulus rasa, raba, suhu dan  getaran. Terjadi gerakan-gerakan involunter, kejang dan ataksia, karena gangguan koordinasi. Pasien juga tidak dapat mengingat kejadian sebelum dan sesuadah trauma. Gangguan keseimbangan dimana pasien sadar, dapat terlihat limbung atau tidak dapat mempertajhankana keseimabangan tubuh.
Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan nervus I (Olfaktorius) : memperlihatkan gejala penurunan daya penciuman dan anosmia bilateral. Nervus II (Optikus), pada trauma frontalis : memperlihatkan gejala berupa penurunan gejala penglihatan. Nervus III (Okulomotorius), Nervus IV (Trokhlearis) dan Nervus VI (Abducens), kerusakannya akan menyebabkan penurunan lapang pandang, refleks cahaya ,menurun, perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti perintah, anisokor.
Nervus V (Trigeminus), gangguannya ditandai ; adanya anestesi daerah dahi. Nervus VII (Fasialis), pada trauma kapitis yang mengenai neuron motorik atas unilateral dapat menurunkan fungsinya, tidak adanya lipatan nasolabial, melemahnya penutupan kelopak mata dan hilangnya rasa pada 2/3 bagian lidah anterior lidah.
Nervus VIII (Akustikus), pada pasien sadar gejalanya berupa menurunnya daya pendengaran dan kesimbangan tubuh. Nervus IX (Glosofaringeus). Nervus X (Vagus), dan Nervus XI (Assesorius), gejala jarang ditemukan karena penderita akan meninggal apabila trauma mengenai saraf tersebut. Adanya Hiccuping (cekungan) karena kompresi pada nervus vagus, yang menyebabkan kompresi spasmodik dan diafragma. Hal ini terjadi karena kompresi batang otak. Cekungan yang terjadi, biasanya yang berisiko peningkatan tekanan intrakranial.
Nervus XII (hipoglosus), gejala yang biasa timbul, adalah jatuhnya lidah kesalah satu sisi, disfagia dan disartria. Hal ini menyebabkan adanya kesulitan menelan.
Aspek Kardiovaskuler :
Didapat perubahan tekanan darah menurun, kecuali apabila terjadi peningkatan intrakranial maka tekanan darah meningkat, denyut nadi bradikardi, kemudian takhikardia, atau iramanya tidak teratur. Selain itu pengkajian lain yang perlu dikumpulkan adalah adanya perdarahan atau cairan yang keluar dari mulut, hidung, telinga, mata. Adanya hipereskresi pada rongga mulut. Adanya perdarahan terbuka/hematoma pada bagian tubuh lainnya. Hal ini perlu pengkajian dari kepalal hingga kaki.
Aspek sistem pernapasan :
Terjadi perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi yaitu cepat dan dangkal, irama tidak teratur (chyne stokes, ataxia brething), bunyi napas ronchi, wheezing atau stridor. Adanya sekret pada tracheo brokhiolus. Peningkatan suhu tubuh dapat terjadi karena adanya infeksi atau rangsangan terhadap hipotalamus sebagai pusat pengatur suhu tubuh.
Aspek sistem eliminasi :
Akan didapatkan retensi/inkontinen dalam hal buang air besar atau kecil. Terdapat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dimana terdapat hiponatremia atau hipokalemia. Pada sistem gastro-intestinal perlu dikaji tanda-tanda penurunan fungsi saluran pencernaan seperti bising usus yang tidak terdengar/lemah, aanya mual dan muntah. Hal ini menjadi dasar dalam pemberian makanan.

Glasgow Coma Scale :
I. Reaksi Membuka Mata.
           4. Buka mata spontan.
      3. Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara.
     2. Buka mata bila dirangsang nyeri.
      1.Tidak reaksi dengan rangsangan apapun.


II. Reaksi Berbicara
            4. Komunikasi verbal baik, jawaban tepat.
3. Bingung, disorentasi waktu, tempat dan person.
2. Dengan rangsangan, reaksi hanya berupa kata  tidak membentuk kalimat.
1. Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun.

III. Reaksi Gerakan Lengan / Tungkai
  6. Mengikuti perintah.
5. Dengan rangsangan nyeri dapat mengetahui tempat rangsangan.
      4. Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan.
      3. Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal.
  2. Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi extensi abnormal.
1. Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

4. Pengkajian Psikologis :
Dimana pasien dnegan tingkat kesadarannya menurun, maka untuk data psikologisnya tidak dapat dinilai, sedangkan pada pasien yang tingkat kesadarannya agak normal akan terlihat adanya gangguan emosi, perubahan tingkah laku, emosi yang labil, iritabel, apatis, delirium, dan kebingungan keluarga pasien karena mengalami kecemasan sehubungan dengan penyakitnya.
Data sosial yang diperlukan adalah bagaimana psien berhubungan dnegan orang-orang terdekat dan yang lainnya, kemampuan berkomunikasi dan peranannya dalam keluarga. Serta pandangan pasien terhadap dirinya setelah mengalami trauma kepala dan rasa aman.


5. Data spiritual :
Diperlukan adalah ketaatan terhadap agamanya, semangat dan falsafah hidup pasien serta ke-Tuhanan yang diyakininya. Tentu saja data yang dikumpulkan bila tidak ada penurunan kesadaran.

6. Pemeriksaan Diagnostik :
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dalam menegakkan diagnosa medis adalah :
X-Ray tengkorak.
CT-Scan.
Angiografi.

7. Penatalaksanaan Medis Pada Trauma Kepala :
Obat-obatan :
Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringanya trauma.
Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurnagi vasodilatasi.
Pengobatan anti edema dnegan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
Makanan atau cairan, Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500 - 3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai ure nitrogennya.
Pembedahan.

Prioritas Diagnosa Keperawatan :
2.    Diagnosa Keperawatan
a.    Resiko tinggi peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma , subdural hematoma dan epidural hematoma.
b.    Ketidakefektifan  pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada pusat pernapasan diotak, kelemahan otot – otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak optimal karena akumulasi udara/cairan, dan perubahan perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan ventiltor.
c.    Tidak efektif kebersihan jalan napas yang berhubungan dengan penumpukan sputum peningkatan sekresi sekret, penurunan batuk sekunder, akibat nyeri dan keletihan, adanya jalan napas buatan pada trakea, ketidakmampuan batuk/batuk efektif.
d.    Perubahan kenyamanan : nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
e.    Cemas/takut yang berhubungan dengan krisis situasional : ancaman terhadap konsep diri, takut mati, ketergantungan pada alat bantu, perubahan status kesehatan/ status ekonomi/ fungsi peran, hubungan interpersonal/ penularan



3.    Rencana Intervensi
a.    Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma.
Tujuan : Dalam waktu 2 x 24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil:
Klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual muntah. GCS : 4, 5, 6,tidak terdapat papiledema, TTV dalam batas normal
Intervensi:
Mandiri:
1)    Kaji faktor penyebab dari situasi/ keadaan individu/ penyebab koma/ penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK.
R/     Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status neurologis/ tanda – tanda kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan
2)    Memonitor tanda – tanda vital tiap 4 jam.
R/     suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik penurunan dari autoregulator. Kebanyakan merupakan tanda penurunan difusi lokal vaskularisasi darah serebral. Dengan peningkatan tekanan darah (diastolik) maka dibarengi dengan peningkatan tekanan darah intrakranial. Adanya peningkatan tekanan darah, bradikardi, disritmia, dispnea merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.
3)    Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman dan reaksi terhadap cahaya.
R/     Reaksi pupil dan pergerakan kembali
         dari bola mata merupakan tanda dari gangguan nervus/saraf jika batang otak terkoyak. Reaksi pupil diatur oleh saraf III kranial (okulomotorik) yang menunjukan keutuhan batang otak, ukuran pupil menunjukan keseimbangan antara parasimpatis dan simpatis. Respons terhadap cahaya merupakan kombinasi fungsi dari saraf kranial II dan III.
4)    Monitor temperatur da pengaturan suhu lingkungan .
R/     Panas merupakan refleks dari hipotalamus. peningkatan kebutuhan metabolisme dan O2 akan menunjang TIK/ICP (intrakranial pressure).
5)    Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan batal yang tinggi pada kepala.
R/     Perubahan kepada salah satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada venajugularis dan menghambat aliran darah ke otak (menghambat drainase pada vena serebral), untuk itu dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
6)    Berikan periode istirahat antara tindakan perawatan dan batasi lamanya prosedur.
R/     Tindakan yang terus menerus dapat meningkatkan TIK oleh efek rangsagan kumulatif.
7)    Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa nyaman seperti masase punggung, lingkungan yang tenang, sentuhan yang ramah  dan suasana/pembicaraan yang tidak gaduh.
R/     Memberikan suasana yang tenang (colming effect) dapat mengurangi respons psikologis dan memberikan istirahat untuk mempertahankan TIK yang rendah.
8)    Cegah/hindarkan terjadinya valsava manuver.
R/     Mengurangi tekanan intrathorakal dan intraabdominal sehingga menghindari peningkatan TIK.
9)    Bantu klien jika batuk, muntah
R/     Aktivitas ini dapat meningkatan intrathorak/tekanan dalam thoraks dan tekanan dalam abdomen dimana aktivitas ini dapat meningkatkan TIK.
10)Kaji peningkatan istirahat dan tingkah laku
R/     Tingkah nonverbal ini dapat merupakan indikasi peningkatan TIK atau memberikan refleks nyeri dimana klien tidak mampu mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri yang tidak menurundapat meningkatkan TIK.
11)Palpasi pada pembesaran/pelebaran bladder, pertahankan drainase urine secara paten jika digunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi.
R/     Dapat meningkatkan respons otomatis yang potensial menaikkan TIK.
12)Berikan penjelasan pada klien (jika sadar) dan keluarga tentang sebab akibat TIK meningkat.
R/     Meningkatkan kerja sama dalam meningkatkan perawatan klien dan mengurangi kecemasan.
13)Observasi tingkat kesadaran GCS
R/     Perubahan kesadaran menunjukkan peningkatan TIK dan berguna menentukan lokasi dan perkembangan penyakit.
Kolaborasi:
1)    Pemberian O2 sesuai indikasi.
R/     Mengurangi hipoksemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi serebral, volume darah, dan menaikkan TIK
2)    Kolaborasi untuk tindakan operatif evakuasi darah dari dalam intrakranial.
R/     Tindakan pembedahan untuk evakuasi darah dilakukan bila kemungkinan terdapat tanda – tanda defisit neurologis yang menandakan peningkatan intrakranial.
3)    Berikan cairan intravena sesuai indikasi
R/     Pemberian cairan mungkin diiginkan untuk mengurangi edema serebral, peningkatan minimum pada pembuluh darah , tekanan darah dan TIK.
4)    Berikan obat osmosisdiuretik, contohnya : manitol, furoslide
R/     Diuretik mungkin digunakan pada fase akut untuk mengalirkan air dari sel otak dan mengurangi edema serebral dari TIK
5)    Berikan steroid contohnya : Dexamethason,
methylprenidsolon.
R/     Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan mengurangi edema jaringan.
6)    Berikan analgesik narkotik, contoh : kodein
R/     Mungkin diindikasikan nyeri dan obat ini berefek negatif pada TIK tetapi digunakan dengan tujuan untuk mencegah dan menurunkan sensasi nyeri.
7)    Berikan antipiretik, contohnya : asetaminofen.
R/     Mengurangi/mengontrol hari dan pada metabolisme serebral/oksigen yang diinginkan.
8)    Monitor hasil laboratorium sesuai dengan indikasi seperti prothrombin, LED
R/     Membantu memberikan informan tentang efektivitas pemberian obat.

b.    Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat pernapasan, kelemahan otot – otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak meksimal karen trauma, dan perubahan perbandingan O2 dan CO2,kegagalan ventilator.
Tujuan:
Dalam waktu 3 x 24 jam setelah intervensi, adanya peningkatan, pola napas kembali efektif.
Kriteria hasil:
Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan pertukaran gas – gas pada paru, adaptif mengatasi faktor – faktor penyebab.
Intervensi:
1)    Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik kesisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
         R/        Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
2)    Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
         R/        Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stres fisiologis dan nyeri atau dapat menunjukan terjadinya terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia.
3)    Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru – paru.
         R/        Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
4)    Pertahankan perilaku tenang,bantu klien untuk kontrol diri dengan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
         R/        Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
5)    Periksalah alarm pada ventilator sebelum difungsikan jangan mematikan alarm.
R/        Ventilator yang memiliki alarm yang biasa dilihat dan didengar misalnya alarm kadar oksigen, tinggi/ rendahnya tekanan oksigen.
6)    Taruhlah kantung resusitasi disamping tempat tidur dan manual ventilasi untuk sewaktu – waktu dapat digunakan.
         R/        Kantung resusitasi/manual vetilasi sangat berguna untuk mempertahankan fungsi pernapasan jika terjadi gangguan pada alat ventilator secara mendadak.
7)    Bantulah klien untuk mengontrol pernapasan jika ventilator tiba – tiba berhenti
         R/        Melatih klien untuk mengatur napas, seperti napas dalam, napas pelan, napas perut, pengaturan posisi, dan teknik relaksasi dapat membantu memaksimalkan fungsi dari sistem pernapasan.
8)    Perhatikan letak dan fungsi ventilator secara rutin. Pengecekan konsentrasi oksigen, memeriksa tekanan oksigen dalam tabung, monitor manometer untuk menganalisis batas/kadar oksigen. Mengkaji tidal volume (10 – 15 ml/kg). Periksa fungsi spirometer
         R/        Memerhatikan letak dan fungsi ventilator sebagai kesiapan perawat dalam memberikan tindakan pada penyakit primer setelah menilai hasil diagnostik dan menyediakan sebagai cadangan.
9)    Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
a)    Pemberian antibiotik.
b)    Pemberian analgesik.
c)    Fisioterapi dada.
d)    Konsul foto thoraks.
R/   Kolaborasi dengan tim kesehatan lainuntuk mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

c.    Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan napas buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan jalan napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas sumbatan, menunjukan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret disaluran pernapasan.
                  Intervensi:
1)    Kaji keadaan jalan napas
         R/        Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi sekret, sisa cairan mukus, perdarahan, bronkhospasme, dan/atau posisi dari endotracheal/ tracheostomy tube yag berubah.
2)    Evaluasi pergerakan dan auskultasi suara napas pada kedua paru (bilateral)
         R/        Pergerakan dada yang simeteris dengan suara napas yang keluar dari paru – paru menandakan jalan napas tidak terganggu. Saluran napas bagian bawah tersumbat dapat terjadi pada pneumonia/atelektasis akan menimbulkan perubahan suara napas seperti ronkhi atau wheezing.
3)    Monitor letak posisi endotrakeal tube, beri tanda batas bibir. Letakkan tube secara hati – hati dengan memakai perekat khusus. Mohon bantuan perawat lain ketika memasang dan mengatur posisi tube.
         R/        Endotracheal tube dapat saja masuk kedalam bronkhus kanan, menyebabkan obstruksi jalan napas keparu – paru kanan dan mengakibatkan klien mengalami pneumothoraks
4)    Catat adanya batuk, bertambahnya sesak napas, suara alarm dari ventilator karena tekanan yang tinggi, pengeluaran sekret melalui endotracheal/tracheostomy tube, bertambahnya bunyi ronkhi.
         R/        Selama intubasi klien mengalami refleks batuk yang tidak efektif, atau klien akan mengalami kelemahan otot-otot pernapasan (neuromuskular/neurosensorik), keterlambatan untuk batuk. Semua klien tergantung dari alternatif yag dilakukan seperti mengisap lendir dari jalan napas.
5)    Lakukan pengisapan lendir jika diperlukan, batasi durasi pengisapan dengan 15 detik atau lebih. Gunakan kateter penghisap yag sesuai, cairan fisiologis steril. Berikan oksigen 100 % sebelum dilakukan penghisapan dengan ambubag (hiperventilasi).
         R/        Pengisapan lendir tidak selamnya dilakukan terus -menerus, dan durasinya pun dapat dikurangi untuk mencegah bahaya hipoksia
6)    Anjurkan klien teknik batuk selama pengisapan seperti waktu bernapas panjang, batuk kuat, bersin jika ada indikasi.
         R/        Batuk yang efektif dapat mengeluarkan
                     sekret dari saluran napas.
7)    Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap 2 jam)
         R/        Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen paru – paru, mengurangi resiko atelektasis.
8)    Berikan minum hangat jika keadaan memungkinkan.
         R/        Membantu pengeceran sekret, mempermudah pengeluaran sekret.
9)    Jelaskan kepada klien tentang kegunaan batuk efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret disaluran pernapasan.
         R/        Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
10) Ajarkan klien tentang metode yang tepat untuk pengontrolan batuk.
         R/        batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, dapat menyebabkan frustasi
11)Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin
R/        memungkinkan expansi pun lebih luas
12)Lakukan pernapasan diafragma
         R/        pernapasan diafragma menurunkan frekuensi napas dan ventilasi alveolar.
13)Tahan napas selama 3 – 5 detik kemudian secara perlahan, lahan keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.
         R/        meningkatkan volume udara dalam paru, mempermudah pengeluaran sekresi sekret
14) Lakukan napas kedua, tahan, dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.
         R/        pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan batuk klien.

15)Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
         R/        sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus yang mengarah pada atelektasis.
16)Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat, meningkatkan masukan cairan 1000-1500cc/hari bisa tidak ada kontraindikasi.
         R/        untuk menghindari pengentalan dari sekret atau mukosa pada saluran napas bagian atas
17)Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
         R/        higene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
18)Kolaborasi dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi.
1)    Pemberian ekpektoran
2)    Pemberian antibiotik
3)    Fisioterapi dada
4)    Konsul foto thoraks
        R/ ekspektoran untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan mengevaluasi kndisi klien pengembangan parunya.
19)Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi seperti postural drainase, perkusi / penepukan.
         R/        mengatur ventilasi segment paru – paru sekret.
20)Berikan obat – obat bronkhodilator sesuai indikasi seperti aminophilin, meta-protereno sulfat (alupent), adoetharine hydrochloride (bronkosal).
         R/   mengatur ventilasi dan melepaskan sekret karena relaksasi muscle / bronchospasme.

d.    Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam nyeri berkurang / hilang
Kriteria hasil : secara subyektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat di adaptasi, dapat mengidentifikasi yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.
Intervensi:
1)    Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakoloni dan non invasif.
         R/        pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukan keefektifan dalam mengurangi nyeri
2)     Ajarkan relaksasi.Teknik-teknik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase.
         R/        Akan melancarkan peredaran darah sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi dan akan mengurangi nyerinya.
3)    Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
         R/        mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.
4)    Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman misalnya ketika tidur belakangnya dipasang bantal kecil.
         R/        istirahat akan merelaksasikan semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
5)    Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri  dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.
         R/        pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan klien  terhadap rencana terapeutik.
6)    Observasi tingkat nyeri dan respon motorik klien,30 menit setelah pemberian obat analgesik untuk mengkaji efektifitasnya serta setiap 1 – 2 jam setelah tindakan perawatan selam 1 – 2 hari.
         R/        pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang objektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan : intervensi yang tepat.
7)     Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgesik.
         R/        analgesik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.

e.    Cemas atau takut yang berhubungan dengan krisis situasional : ancaman terhadap konsep diri, takut mati/ketergantungan pada alat bantu/ perubahan status kesehatan/status ekonomi/fungsi peran, hubungan interpersonal.
Tujuan : dalam waktu 1 x 24 jam secara subjektif melaporkan rasa cemas berkurang.
Kriteria Hasil : klien mampu mengungkapkan perasaan yang kaku, cara-cara yang sehat kepada perawat, klien dapat mendemonstrasikan keterampilan pemecahan masalahnya dan perubahan koping yang digunakan sesaui situasi yang di hadapi, klien dapat mencatat penurunan kecemasan/ketakutan di bawah standar, klien dapat rileks dan tidur/istirahat dengan baik.
                Intervensi : Mandiri.
1)    Identifikasi persepsi klien untuk menggambarkan tindakan sesuai situasi
                    R/        menegaskan batasan masalah individu dan pengeruhnya selama diberikan intervensi.
2)    Monitor rspon fisik seperti : Kelemahan, perubahan tanda vital gerakan yang berulang-ulang, catat kesesuaian respons verbal dan non verbal selama komunikasi.
                    R/        digunakan dalam mengevaluasi derajat/ tingkat kesadaran/ konsentrasi, khususnya ketika melakukan komunikasi verbal.
3)    Anjurkan klien dan keluarga untuk mengungkapkan dan mengekspresikan rasa takutnya.
                    R/        Memberikan kesempata untuk berkonsentrasi, kejelasan dari rasa takut, dan mengurangi cemas yang berlebihan.
4)    Akuilah situasi yang membuat cemas dan takut. Hindari perasaan yang tak berarti seperti mengatakan semuanya akan menjadi baik.
                    R/        Memvalidasi situasi yang nyata tanpa mengurangi pengaruh emosional.

5)    Identifakasi/ kaji ulang bersama klien / keluarga tindakan pengaman yang ada seperti kekuatan dan suplai oksigen, kelengkapan suctioa emergency. Diskusikan arti dari bunyi alarm.
                      R/      membesarkan/menentramkan hati klien untuk membantu menghilangkan cemas yang tak berguna, mengurangi konsentrasi yang tidak jelas, dan menyiapkan rencana sebagai respons dalam keadaan darurat.
6)    Cetak reaksi dari klien/keluarga. Berikan kesempatan untuk mendiskusika perasaannya/konsentrasi dan harapan masa depan.
                     R/       Anggota keluarga dengan responnya pada apa yang terjadi dan kecemasannya dapat di sampaikan kepada klien.
7)    Identifikasi kemampuan koping klien/keluarga sebelumnya dan mengontrol pengguanaannya.
                    R/        Memfokuskan perhatian pada sendiri dapat meningkatkan pengertian dalam penggunaan koping.
8)    Demonstrasikan/anjurkan klien untuk melakukan teknik relaksasi seperti mengatur pernapasan, menuntun dalam berkhayal, relaksasi progresif.
                    R/        pengaturan situasi yang aktif dapat mengurangi perasaan yang tak berdaya.
9)    Anjurkan aktivitas pengalihan perhatian sesuai kemampua individu seperti menulis, menonton tv dan keterapilan
                     R/       sejumlah keterampilan baik secara sendiri maupun dibantu selama pemasangan ventilator dapat membuat klien merasa berkualitas dalam hidupnya.
Kolaborasi
Rujuk ke bagian lain guna penanganan selanjutnya.
        R/        mungkin dibutuhkan untuk  membantu jika klien/ keluarga tidak dapat mengurangi cemas atau ketika klien membutuhkan alat yang lebih canggih.
( Arif Muttaqin ; 2008 : 288-297 )


DAFTAR  PUSTAKA

Carpenito, L.P. (1999). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif. Ed.2. Jakarta : EGC.

Komite Keperawatan RSUD Dr. Soedono Madiun. (1999). Penatalaksanaan Pada Kasus Trauma Kepala. Makalah Kegawat daruratan dalam bidang bedah. Tidak dipublikasikan.

Long, B.C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Kperawatan). Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Bandung.

Makalah Kuliah Medikal bedah PSIK FK Unair Surabaya. Tidak Dipublikasikan

Reksoprodjo, S. dkk. (1995). Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Bina rupa Aksara.

Rothrock, J.C. (1999). Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. Jakarta : EGC.

Tucker, S.M. (1998). Standart Perawatan Pasien : Proses Keperawatan, Diagnosis dan Evaluasi. Ed. 1 . Jakarta : ECG.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar